Jadi dosen muda,
seperti biasa rasanya selalu berwarna. Yup, siang ini sedang mendampingi
mahasiswa praktikum Farmako di Laboraturium Farmakologi FK UB. Seperti biasa di
jam yang sama sebenarnya juga memiliki jadwal rapat persiapan praktikum
Fisiologi Veteriner dan juga jadwal mendampingi praktikum Anatomi Veteriner
(maklum Prodi baru, jumlah dosen terbatas sehingga sering ada jadwal yang
tabrakan). Namun saat ini saya memilih untuk mendampingi praktikum Farmako
karena kalau praktikum yang satu ini pendamping satu-satunya dari PKH hanya
saya sendiri, kalau untuk rapat persiapan praktikum Fisiologi Veteriner dan
pelaksaan praktikum Anatomi Veteriner masih ada beberapa orang yang bisa
mengurusi.
Dan seperti biasa,
kalau mendampingi praktikum Farmakologi itu lebih tepatnya bisa disebut sebagai
waktu "menganggur" mendampingi mahasiswa. Praktikum ini sepenuhnya
dilaksanakan oleh jajaran dosen dan laboran dari Laboratorium Farmakologi FK UB,
sedangkan dosen dari PKH hanya mendampingi dan menjawab kalau-kalau ada
mahasiswa yang bertanya. Sedihnya, di seluruh lingkungan FK itu WiFinya
menggunakan password yang hanya bisa diakses oleh para "penduduk"
aslinya. Walhasil, sembari mendampingi mereka praktikum, saya hanya bisa
mengisi form kepegawaian di Exel yang beberapa hari yang lalu saya download
dari email dan saya lanjutkan membenahi slide kuliah yang akan saya gunakan
untuk mengajar minggu depan.
Tiba-tiba saya
tertarik untuk menulis mengenai "Rejeki" yang saya lihat dari
perspektif saya yang masih cukup muda ini. Yah, rejeki atau yang sering orang
sebut dengan materi atau kekayaan. Sesuatu yang penting namun bukan yang
terpenting. Saya cukup percaya bahwa kita akan mendapatkan apa yang kita
ikhtiarkan dan do'akan, karena Allah Maha Kaya dan Maha Pemberi. Alhamdulillah
selama ini saya tidak pernah merasa kawatir dan senantiasa merasa cukup dalam
hal rejeki. Saya senantiasa mensyukuri berapa pun rejeki yang saya miliki,
meski tidak saya pungkiri pernah beberapa kali di usia yang masih belia ini
saya harus berpikir dengan keras mencari pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan
saya. Seperti saat saya harus membayar biaya S2 saya atau saat saya harus
membayar DP kontrakan yang kini saya tempati, namun seperti yang saya yakini,
Allah Maha Kaya dan Maha Pemberi, rejeki Allah terkadang datang dari tempat
yang tiada kita sangka-sangka.
Saya selalu berusaha
untuk bersyukur dan senantiasa merasa cukup dengan rejeki yang saya terima.
Saya berkaca dari lingkungan dimana saya bekerja, dimana kesejahteraan pegawai
diabaikan, dimana diberikan kewajiban-kewajiban namun kadang haknya tidak terbayarkan.
Dalam kondisi yang seperti ini sangatlah wajar jika banyak orang yang
mengeluhkan tentang rejeki mereka, membanding-bandingkan dengan tempat lain
dimana kesejahteraan lebih diperhatikan. Tidak jarang juga banyak yang merasa
"kurang". Entah apakah karena saya masih single dan masih belum punya tanggungan, sehingga bagi saya
semua rejeki itu terasa cukup. Yang saya lakukan adalah melaksanakan semua
kewajiban yang saya miliki, mengenai apakah ada imbalan atau tidak seringkali
saya berusaha untuk tidak mengharapkannya, dan tanpa saya sadari terkadang saya
menerima amplop-amplop yang merupakan hasil dari pekerjaan saya itu disaat saya
benar-benar membutuhkannya.
Sebenarnya mengenai
rejeki, saya dapat pelajaran berharga dari cerita nyata kedua orang tua saya.
Kedua orang tua saya menikah ketika Bapak masih kuliah Profesi Dokter Hewan
(biasa disebut Ko'as atau dokter muda), sedangkan ibu baru lulus D1 dan
mendapat ikatan dinas mengajar di sebuah sekolah di daerah Ponjong, Jogjakarta.
Di awal menikah kedua orang tua saya hanya mampu menyewa sebuah kamar untuk
mereka berdua (setelah menikah, suplai dana dari keluarga dihentikan, Bapak
hanya mengambil jatah beras dari lumbung padi, selebihnya biaya kehidupan
ditanggung berdua dari gaji Ibu dan beasiswa Bapak). Yup, berawal dari nol.
Sampai sekarang masih tersimpan saksi bisu dari masa-masa itu, sebuah foto di
album kenangan saat Ibu menyuapi Bapak disebuah kamar yang mereka kontrak
berdua. Tidak hanya sampai disitu, setelah Bapak lulus pun, Bapak ditempatkan
di sebuah kota kecil nun jauh dari tempat dimana Ibu bekerja, Tulungagung.
Selama 4 tahun Bapak dan Ibu pun hidup secara terpisah. Ibu tinggal di Ponjong,
menyewa sebuah kamar yang ditinggali berdua dengan kakak perempuan saya yang
saat itu masih bayi. Sebuah kamar yang dari cerita Ibu, setiap hujan maka atap
dari kamar itupun bocor, dan untuk melindungi kakak perempuan saya yang masih
bayi saat itu ibu memasang plastik yang cukup lebar di atas tempat tidur tempat
kakak perempuan saya diletakkan.
Ketika akhirnya Ibu
pun dapat pindah ke Tulungagung mengikuti Bapak, lahirlah kakak laki-laki saya,
anak kedua dikeluarga kami. Dan saat itu pun Bapak dan Ibu masih
berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lainnya. Hingga akhirnya
saya pun lahir. Bapak mulai membeli tanah dan sedikit demi sedikit membangun
sebuah rumah yang lokasinya tidak jauh dari kantor dimana Bapak bekerja. Ketika
saya berumur 3 tahun, alhamdulillah pembangunan rumah telah selesai, namun
karena keterbatasan uang, Bapak masih belum sanggup untuk membeli dan memasang
lantainya. Namun ada seorang teman Bapak yang kasihan melihat saya yang berusia
3 tahun ini, yang sedang mulai berlatih untuk berjalan ini, berjalan diatas
permukaan tanah yang masih belum ada lantai keramiknya. Akhirnya teman Bapak
itu meminjami uang untuk membangun lantai. Yah namanya juga uang pinjaman yang
terbatas, maka keramik rumah pun ada beberapa bagian yang berwarna-warni alias
tidak seragam. Alhamdulillah berkat kegigihan kedua orang tua kami, kini ketiga
anaknya telah mempu berdiri dengan kakinya sendiri, tinggal seorang adik bungsu
yang kini sedang menempuh pendidikannya.
Dari kisah nyata
kedua orang tua saya dan berbekal keyakinan yang sangat kuat bahwa Allah Maha
Kaya dan Maha Pemberi, maka hingga saat ini yang bisa saya lakukan adalah tetap
berikhtiar untuk mendapatkan bagian dari rejeki itu sendiri, dan senantiasa mensyukuri
dan merasa cukup dengan setiap rejeki yang diberikan Allah dengan tidak lupa
memberikan sebagian haknya kepada yang berhak menerimanya. Dan senantiasa
memegang teguh sebuah keyakinan bahwa, materi itu memang penting, namun bukan
segala-galanya.